Pada setiap pertemuan selalu ada rasa yang tertinggal dengan banyak tanda tanya.
Bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama saya kagumi, tampaknya tidak mudah. Harus merelakan kepergiannya selama berbulan-bulan, tidak juga saya rasa sebagai sebuah upaya untuk mengikhlaskan.
Source: weheartit |
Pada malam itu, senyumnya menghiasi sudut-sudut ruangan yang saya datangi.
Permintaannya untuk bertemu dengan saya hari itu, saya iyakan. Padahal saya sudah niatkan untuk tidak sama sekali kembali membuka cerita kami yang dulu pernah sangat sedekat nadi.
Padahal, ia tidak tahu saja bahwa setiap malam saya selalu bertanya-tanya atas kepergianya yang begitu mendadak.
Saat itu,
Jalanan Bandung saat itu, perasaan saya saat itu.
Tidak pernah sebahagia saya dengan dia. Berjalan disepanjang trotoar dago kemudian makan kue balok favorit saya di kawasan Pajajaran. Bercengkrama kami seperti biasa, cekakak-cekikik. Dia menceritakan bagaimana hari-hari dan pekerjaannya. Saya mengeluhkan dosen pembimbing yang tidak kooperatif, hingga rasanya saya ingin berhenti saja. Lagi-lagi, dia menyemangati saya (seperti biasanya).
Kami tertawa lagi, hingga sejak hari itu.
Dia menghilang,
dan saya rasa saya baik-baik saja awalnya.
Lalu hingga dia pergi berbulan-bulan, tanpa ada penjelasan dan hilang.
Oh, saya ingat bagaimana saya merindukan setiap pertemuan yang dia usahakan karena bekerja di ibukota dan saya kuliah di Bandung.
Saya ingat bagaimana dia mau menunggu apabila saya pulang larut malam hanya sekedar untuk menelepon dan memastikan bahwa saya baik-baik saja.
Saya ingat bagaimana kami menghabiskan malam hanya dengan chating tanpa harus bertemu, tapi saya rasa dia ada di samping saya.
Dua jam saat itu, dia menemani saya memilih-milih buku di Gram*dia hingga saya habiskan waktu sendiri membaca sinopsis dan isi bukunya lalu saking lamanya, dia memilihkan salah satu buku karya Eka Kurniawan. Cantik itu Luka.
Dan masih belum saya baca hingga kemarin dia datang kembali.
Berbulan-bulan dia menghilang, jalanan bandung terasa sangat menyesak di dada.
Pantas saja, karena hampir tiap hari kami jajan dan jalan saat dia masih di Bandung .
Dari emperan hingga tempat-tempat mahal.
Tanpa sempat mengatakan alasan kepergian-nya saya sempat menghubunginya beberapa kali melalui Line. Dia jawab, tapi hanya sebutuhnya belaka.
Tak banyak bertanya atau berbicara. Hingga saya rasa berkali-kali terjadi namun akhirnya saya memilih untuk kalah, bukan karena lemah tapi memang sudah tidak ada lagi harapan.
Padahal, dia sudah meyakinkan saya bahwa dia akan selalu ada bersama saya.
--------------
Malam bandung, menjadi sunyi. Berhadap-hadapan lagi dengannya setelah berbulan-bulan tanpa ada kabar, membuat saya ingin mendekapnya. Dekat, selama satu setengah tahun. Bahkan saya rela diambang ketidakjelasan karena saya terlalu bahagia dengan dia.
"Kamu apa kabar? Sehat?" ramahnya masih tetap sama, hanya suaranya berbeda. Kini tampak lebih berwibawa.
"Aku kembali, masih mau menepati janjiku. Biar selalu sama kamu"
Aku tersenyum.
Empat belas bulan, waktu yang cukup lama.
Saya sengaja membatasi diri berbincang dengannya. Bukan karena saya tak suka, tapi karena selama empat belas bulan kami berjauhan,
saya bertemu dengan orang baru.
Yang meski saya tak sebahagia bersama dia, tapi saya rasakan kehangatan dan ketulusanya.
(Jakarta, 09/08/2018)
11.07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar